Laman

Kamis, 31 Mei 2012

Tips Mobil : Pengecekan Diesel Common Rail Sepele Berujung Bete


 
 Elemen filter solar yang sudah dekil dalam hitungan minggu(kiri) Bisa dibeli seharga rp 170 ribu belum termasuk ongkos bongkar-pasang(kanan)
JAKARTA - Teknologi mesin diesel kian maju. Kini fuel supply mesin diesel mengadopsi teknologi common rail yang notabene fully computerized. Otak pintar seperti ECU (Electronic Control Unit) mulai jamak dipakai, semisal mesin 2KD-T pada Toyota Innova D4-D.

Semakin canggih sistem pasokan bahan bakar solar yang dipakai, berbanding lurus dengan perawatan berkala yang mesti dilakukan pemilik mobil. Bisa jadi, kudu lebih sering dari yang dianjurkan buku servis.

Bukannya apa-apa, teknologi common rail sebenarnya menuntut kualitas BBM solar yang tidak bisa sembarangan seperti Pertamina Dex atau Shell Diesel. Tetapi pada kenyataannya, tak semua pemilik mobil diesel common rail mematuhi anjuran BBM solar tadi. Ujung-ujungnya pakai bio-solar bersubsidi.

Dampaknya ternyata sangat besar. Khususnya pada sistem pasokan bahan bakar itu sendiri. “Filter solar yang menjadi satu dengan water sedimenter sangat cepat mampat karena lumpur atau gel akibat endapan kotoran selama berbulan-bulan,” papar Novi Ferryanto, kepala bengkel Tunas Toyota Cawang, Jaktim.

Apalagi elemen filter solar yang dipakai untuk water sedimenter Innova diesel berupa penyaring berpori kecil yang sangat sensitif. Kotoran sekecil apapun akan tersaring dengan baik agar nosel injektor bisa awet, tetapi karena solar bersubsidi kualitasnya tak menentu, elemen filter lebih cepat kotor dalam hitungan minggu.

Mau tak mau water sedimenter yang sekaligus sebagai satu-satunya filter eksternal ini tak bisa hanya sekadar dicek. Pengecekan water sedimenter lazimnya hanya untuk mengontrol kandungan air yang bercampur dengan solar. “Tetapi untuk memeriksa apakah kualitas elemen penyaring masih baik, water sedimenter harus dibongkar total,” papar Novi lagi.

 Bandingkan karet sil O-ring yang sudah melar(kanan) dan yang masih baru (kiri)
Caranya dengan membuka bodi water sedimenter bermaterial plastik resin ABS dari bracket (dudukannya) di kabin mesin dan melepas bodi water sedimenter memakai special tools. Bodi atas dan kepalanya menyatu oleh drat (ulir) yang diproteksi karet sil O-ring.

Elemen penyaring dan sil karet R-ring ini bisa diganti baru dengan banderol sekitar Rp 170 ribu (belum termasuk ongkos bongkar pasang). Nanti bisa kelihatan elemen penyaring yang sudah dekil alias kotor akibat bekerja terlalu keras menyaring solar bersubsidi. “Kebanyakan pemilik mobil sudah merasa cukup hanya dengan membuang solar yang ada di bodi water sedimenter dengan membuka drain plug,” ungkap Novi.

Padahal sebenarnya elemen penyaring harus sering diganti. Bila mobil yang rajin minum Pertamina Dex atau Shell Diesel, penggantian normal berkisar 100 ribu kilometer sesuai buku servis. Tetapi mobil yang mengkonsumsi bio-solar alias solar bersubsidi, menjadi abnormal karena harus lebih sering mengganti elemen penyaring setiap 25 ribu kilometer.

Artinya, empat kali lebih sering mengganti elemen penyaring solar di water sedimenter. Hal sepele dan sebenarnya tak menghabiskan dana besar, tetapi karena kerap terlewati oleh mekanik maupun pemilik mobil sehingga nosel injektor mendadak mampat, tenaga mesin di semua rentang rpm berangsur drop dan asap hitam pekat mulai ngebul dari ujung knalpot.

Kalau sudah begini, Innova diesel atau mobil berteknologi common rail lain yang tadinya hanya butuh perawatan berkala bisa berubah menjadi 'perbaikan besar'. Ingat pepatah, 'Lebih baik mencegah daripada harus mengobati'.